Masjid Agung Demak adalah masjid tertua di Jawa Tengah, terletak di jantung kota Demak tepatnya di barat alun - alun Demak masjid ini menjadi cikal bakal kerajaan Demak Bintoro. Masjid Demak memiliki ciri khas perpaduan arsitektur tradisional Jawa dan arab. Kini masjid ini digunakan untuk kegiatan peribadatan masyarakat sekitar dan tempat ziarah wali.
Setiap bagian masjid memiliki makna dalam bangunannya diantaranya adalah atap masjid yang berbentuk limas menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagianyaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Di dalam masjid terdapat "Pintu Bledeg", di pintu tersebut terdapat tulisan Condro Sengkolo yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi, atau bisa dikatakan 887 Hijriyah.
Masjid Demak dibangun oleh Raden Patah bersama Wali Sanga merancang masjid ini dengan memberi gambar berupa bulus. Ini adalah cara masyarakat Jawa dalam memberitahukan kapan tahun dibangunnya Masjid melalui gambaran wujud sesuatu atau disebut Candrasengkala, sedangkan bulus merupakan Candrasengkala memet atau bisa diartikan dengan Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang memiliki makna 1401 Saka.
Bulus dapat menggambarkan angka 1401 bisa dilihat pada ciri fisik bulus yaitu, kepala menunjukkan angka 1, kaki bulus menunjukkan angka 4, tempurung bulus menggambarkan angka 0 dan ekor bulus menunjukkan angka 1. Dari penggambaran candrasengkala tersebut menggambarkan bahwa Masjid Demak dibangun pada 1401 Saka. Sedangkan tanggalnya adalah 1 Shofar.
Soko Majapahit, tiang yang terdiri dari delapan buah yang ada di serambi masjid merupakan pemberian dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi kepada Raden Fattah ketika menjabat sebagai Adipati Notoprojo di Glahahwangi Bintoro Demak pada 1475 M. Di Masjid Demak terdapat bangunan khusus bernama pawestren yang dikhususkan untuk jamaah wanita. Pawestren berasal dari kata pawestri yang berarti wanita. Bangunan ini memiliki arsitektur berbahan kayu jati dengan atap limasan berupa sirap atau genteng terbuat dari kayu jati. Terdapat delapan tiang untuk menyangga bangunan ini, empat diantaranya terdapat ukiran bermotif Majapahit. Luas lantai dari Pawestren ini adalah 15x7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat yang terlihat dari motif ukiran berupa Makrusah atau Kholwat yang menerangkan angka 1866 M.
Pintu Bledheg merupakan pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo yang konon katanya berfungsi sebagai penangkal petir. Pintu Bledeg ini merupakan condrosengkolo yang memiliki bunyi Nogo Mulat Saliro Wani, yang memiliki makna 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H. Pada tempat imam atau disebut Mihrab terdapat hiasan berupa gambar bulus yang merupakan Condro Sengkolo memiliki arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang memiliki makna 1401 Saka. Kemudian di depan Mihrab terdapat sebuah mimbar yang digunakan untuk khotbah, benda ini disebut dengan nama Dampar Kencono warisan dari kerajaan Majapahit. Dampar Kencono ini merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit abad ke 15 yang dihadiahkan untuk Raden Fattah dari ayahanda Prabu Brawijaya V Raden Kertabhumi. Setelah Demak dipimpin oleh Raden Trenggono pada 1521 sampai 1560 M, secara universal wilayah Nusantara dipersatukan seolah mengulang apa yang dilakukan patih Gajah Mada.
Empat buah Soko Tatal / Soko Guru menjadi tiang utama penyangga masjid yang bersusun tiga. Tinggi dari keempat soko ini adalah 1630 cm. Formasi dari keempat soko ini dipancangkan sesuai pada penjuru mata angin.
soko tatal yang mulai melapuk karena usia
- Tiang yang berada di bagian barat laut dibuat oleh Sunan Bonang
- Tiang yang berada di bagian barat daya dibuat oleh Sunan Gunung Jati
- Tiang yang berada di bagian tenggara dibuat oleh Sunan Ampel
- Tiang yang berada di bagian timur laut dibuat oleh Sunan Kalijaga
Sumber : http://www.idsejarah.net/2016/07/sejarah-masjid-agung-demak.html
Cikal bakal dan
motivasi pembangunan masjid Agung Palembang bermula saat masjid yang
didirikan Ki Gedeh Ing Suro (Sultan Palembang) terbakar. Kabarnya masjid
ini dihancurkan oleh Mayor Van der Laen saat perang Palembang melawan
Belanda pada tahun 1659. Saat itu, lokasi masjid ini berada di Keraton
Kuto Gawang. Kalau sekarang berada di Kompleks PT. Pusri.
Peletakan batu pertama pada pembangunan masjid Agung pada 1 Jumadil
Akhir 1151 H (1738 M). Sedangkan peresmian pemakaiannya pada hari Senin
tanggal 1 Jumadil Awal 1161 H atau bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1748
M. Masjid Agung didirikan di samping Keraton Tengkuruk yang dikenal
juga sebagai Kuto Kecik (sekarang gedung Museum Sultan Mahmud Badarudin
II) serta bergaya arsitektur Eropa.
Menurut penelitian sejarawan Djohan Hanafiah, awalnya masjid ini
berbentuk bujursangkar. Namun diketahui pula bahwa bentuk bangunan
masjid ini persegi panjang. Hal ini dapat diketahui dari sketsa lukisan
pada tahun 1821. Sedang pada buku yang saya baca, tidak diketahui siapa
pelukis sketsa ini.
Sultan Mahmud Badarudin I (SMB I) menentukan sendiri arsitektur
bangunannya. Rancangannya adalah berundak dengan limas di
puncaknya/mustaka. Mustaka adalah kepala dari atap undak masjid Agung.
Ia juga memiliki jurai kelompok simbar. Simbar itu seperti tanduk kepala
kambing sebanyak 13 buah di tiap sisinya.
Bentuk atapnya memiliki kesamaan dengan masjid di Hua Nan, Cina.
Arsitektur Cina pada masjid ini terasa kental pada bentuk mustaka yang
terjurai juga melengkung ke atas pada empat ujungnya. Hal ini disebabkan
karena orang-orang Cina ikut andil dalam pembuatan masjid Agung.
Sedangkan mimbar masjid Agung mirip sekali dengan mimbar Rasulullah di
masjid Madinah. Ini menunjukkan pengaruh arsitektur Arab. Jadi ada tiga
budaya dan bentuk arsitektur pada masjid Agung ini, yaitu Arab, Cina dan
tradisional. Hanya saya tidak tahu bagaimana campur tangan Eropa
sehingga membuat masjid ini juga terlihat gaya Eropanya.
Masjid Agung tampak depan
Peran orang Cina pada masa kesultanan cukup menentukan. Termasuklah
sebagai tenaga ahli administrasi, perdagangan, dan syahbandar (pegawai
yang mengepalai urusan pelabuhan). Menurut kitab Ying-Lang Sheng Lan
yang ditulis oleh Ma Huan pada dinasti Ming, diceritakan daerah
pelabuhan lama, Ku Kang/Kiu Kian (maksudnya kota Palembang). Mayoritas
penghuninya adalah orang-orang Cina yang berasal dari Kanton, Chang
Chou, dan Chuan Chou.
Benteng Kuto Besak yang didirikan pada 1780 juga terdapat andil
orang-orang Cina. Waktu pembangunannya memakan waktu selama 17 tahun
karena bahan bangunannya harus didatangkan dari luar Palembang bahkan
luar pulau Sumatera. Pada 1797 bangunan tersebut resmi digunakan.
Walaupun demikian arsitek Benteng tidak diketahui dengan pasti, tapi
diperkirakan dari orang Eropa.
Keterampilan mencetak bata orang-orang Cina di Palembang diwariskan
kepada keturunannya yang bermukim di perkampungan tua mereka. Tepatnya
berada di Sungai Ogan alias Sungai Buaya. Masyarakat Cina pada masa
kesultanan tinggal di rumah-rumah rakit di wilayah Seberang Ulu. Seperti
juga komunitas Arab, Eropa dan orang-orang yang dianggap bukan sebagai
warga kesultanan Palembang.
Bentuk Bangunan Lama Masjid Agung
Masjid Agung terletak di kel. 19 Ilir kec. Ilir Barat 1 Palembang.
Masjid Agung berada di persimpangan jalan Jend. Sudirman di sebelah
timur. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan jalan Guru-guru
(berjarak kurang lebih 60 m). Jalan Guru-guru sekarang sudah diganti
namanya menjadi jalan Faqih Usman.
Menurut Djohan Hanafiah, dulu jalan ini sampai dinamakan jalan Guru-guru
karena di sepanjang jalan ini bermukim guru-guru agama Islam. Mereka
mengajarkan mengaji Al-Quran, Fiqih dan ilmu agama lainnya yang berpusat
di Masjid Agung.
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung ini dulunya dikelilingi sungai. Bagian Ilir (timur)
berbatasan dengan sungai Tengkuruk. Darat (utara) berbaasan dengan
sungai Kapuran. Ulu (barat) berbatasan dengan sungai Sekanak. Dan laut
(selatan) berbatasan dengan keraton Tengkuruk yang sekarang menjadi
museum SMB II.
Mulanya tidak ada menara di masjid Agung. Saat masa pemerintahan Sultan
Najmudin I putra SMB I menara masjid baru dibangun. Namun pendirian
menara ini bukan tanpa rintangan. Pembangunan menara masjid bertepatan
dengan perang dingin antara Kerajaan Palembang melawan Belanda pada
tahun 1821. Akibatnya atap menara masjid hancur dan baru diganti jadi
atap rumbia pada 1825.
Berdasarkan laporan Mayor William Thorn (penguasa Inggris di Palembang)
pada 1811 menyebutkan bahwa denah masjid Agung berbentuk persegi panjang
berukuran 686x110 kaki. Pintu masuknya dari tiga jurusan yang ditandai
bangunan gapura bagian timur, selatan juga utara.
Menara masjid setinggi 60 kaki/20 m ini berdenah persegi enam. Menara
ini awalnya dibangun agak jauh dari masjid karena kondisi tanahnya
berupa rawa. Diputuskan demikian karena jika tidak begitu maka akan
mempengaruhi tekanan pada tanah yang tidak padat. Jika ada tekanan maka
kontur tanah berubah. Itu dapat menyebabkan tanah tempat berdirinya
masjid tidak kuat menahan bangunan masjid itu sendiri.
Ciri khas masjid Agung ini adalah Mustaka yang dimilikinya. Karena pada
umumnya masjid di pulau Sumatera berbentuk kubah. Masjid bermustaka
adalah masjid yang mempunyai atap bagian atas terpisah dari atap di
bawahnya. Atap bawahnya ini ditopang oleh pilar-pilar di atas tanah.
Jika dilihat seksama maka kepalanya seperti terpisah dari leher tubuh
masjid.
Seiring berjalannya waktu, masjid Agung telah banyak direnovasi sehingga
beberapa bentuknya tak lagi sama seperti yang dulu. Masjid ini juga
telah mengalami beberapa kali perluasan oleh banyak pihak. Termasuk oleh
pemerintah Belanda waktu zaman kolonial. Yayasan Masjid Agung dan
Pertamina pun turut andil. Untuk masalah perluasan dan renovasi ini
banyak simpang siur terkait kapan dilakukannya hal tersebut. Terakhir
masjid Agung Palembang diresmikan oleh Presiden saat itu Megawati
Soekarno Putri. Dan masjid ini didaulat menjadi salah satu masjid
Nasional.
Bangunan Lama Masjid Agung
Bangunan Lama Masjid Agung
Bangunan Lama Masjid Agung
Ciri khas masjid ini masih dipertahankan. Seperti atap menara yang
bergaya khas Cina dan undak-undak pada atap masjidnya yang melengkung ke
atas.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-palembang_552e08336ea834b7238b45b4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-palembang_552e08336ea834b7238b45b4
PILIHAN
Sejarah Masjid Agung Palembang
22 Desember 2013 16:20:46 Diperbarui: 24 Juni 2015 03:37:18 Dibaca :
2,637 Komentar : 6 Nilai : 8
Sejarah Masjid Agung Palembang
Masjid Agung tampak depan
Cikal bakal dan motivasi pembangunan masjid Agung Palembang bermula saat
masjid yang didirikan Ki Gedeh Ing Suro (Sultan Palembang) terbakar.
Kabarnya masjid ini dihancurkan oleh Mayor Van der Laen saat perang
Palembang melawan Belanda pada tahun 1659. Saat itu, lokasi masjid ini
berada di Keraton Kuto Gawang. Kalau sekarang berada di Kompleks PT.
Pusri.
Peletakan batu pertama pada pembangunan masjid Agung pada 1 Jumadil
Akhir 1151 H (1738 M). Sedangkan peresmian pemakaiannya pada hari Senin
tanggal 1 Jumadil Awal 1161 H atau bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1748
M. Masjid Agung didirikan di samping Keraton Tengkuruk yang dikenal
juga sebagai Kuto Kecik (sekarang gedung Museum Sultan Mahmud Badarudin
II) serta bergaya arsitektur Eropa.
Menurut penelitian sejarawan Djohan Hanafiah, awalnya masjid ini
berbentuk bujursangkar. Namun diketahui pula bahwa bentuk bangunan
masjid ini persegi panjang. Hal ini dapat diketahui dari sketsa lukisan
pada tahun 1821. Sedang pada buku yang saya baca, tidak diketahui siapa
pelukis sketsa ini.
Sultan Mahmud Badarudin I (SMB I) menentukan sendiri arsitektur
bangunannya. Rancangannya adalah berundak dengan limas di
puncaknya/mustaka. Mustaka adalah kepala dari atap undak masjid Agung.
Ia juga memiliki jurai kelompok simbar. Simbar itu seperti tanduk kepala
kambing sebanyak 13 buah di tiap sisinya.
Bentuk atapnya memiliki kesamaan dengan masjid di Hua Nan, Cina.
Arsitektur Cina pada masjid ini terasa kental pada bentuk mustaka yang
terjurai juga melengkung ke atas pada empat ujungnya. Hal ini disebabkan
karena orang-orang Cina ikut andil dalam pembuatan masjid Agung.
Sedangkan mimbar masjid Agung mirip sekali dengan mimbar Rasulullah di
masjid Madinah. Ini menunjukkan pengaruh arsitektur Arab. Jadi ada tiga
budaya dan bentuk arsitektur pada masjid Agung ini, yaitu Arab, Cina dan
tradisional. Hanya saya tidak tahu bagaimana campur tangan Eropa
sehingga membuat masjid ini juga terlihat gaya Eropanya.
Masjid Agung tampak depan
Peran orang Cina pada masa kesultanan cukup menentukan. Termasuklah
sebagai tenaga ahli administrasi, perdagangan, dan syahbandar (pegawai
yang mengepalai urusan pelabuhan). Menurut kitab Ying-Lang Sheng Lan
yang ditulis oleh Ma Huan pada dinasti Ming, diceritakan daerah
pelabuhan lama, Ku Kang/Kiu Kian (maksudnya kota Palembang). Mayoritas
penghuninya adalah orang-orang Cina yang berasal dari Kanton, Chang
Chou, dan Chuan Chou.
Benteng Kuto Besak yang didirikan pada 1780 juga terdapat andil
orang-orang Cina. Waktu pembangunannya memakan waktu selama 17 tahun
karena bahan bangunannya harus didatangkan dari luar Palembang bahkan
luar pulau Sumatera. Pada 1797 bangunan tersebut resmi digunakan.
Walaupun demikian arsitek Benteng tidak diketahui dengan pasti, tapi
diperkirakan dari orang Eropa.
Keterampilan mencetak bata orang-orang Cina di Palembang diwariskan
kepada keturunannya yang bermukim di perkampungan tua mereka. Tepatnya
berada di Sungai Ogan alias Sungai Buaya. Masyarakat Cina pada masa
kesultanan tinggal di rumah-rumah rakit di wilayah Seberang Ulu. Seperti
juga komunitas Arab, Eropa dan orang-orang yang dianggap bukan sebagai
warga kesultanan Palembang.
Bentuk Bangunan Lama Masjid Agung
Masjid Agung terletak di kel. 19 Ilir kec. Ilir Barat 1 Palembang.
Masjid Agung berada di persimpangan jalan Jend. Sudirman di sebelah
timur. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan jalan Guru-guru
(berjarak kurang lebih 60 m). Jalan Guru-guru sekarang sudah diganti
namanya menjadi jalan Faqih Usman.
Menurut Djohan Hanafiah, dulu jalan ini sampai dinamakan jalan Guru-guru
karena di sepanjang jalan ini bermukim guru-guru agama Islam. Mereka
mengajarkan mengaji Al-Quran, Fiqih dan ilmu agama lainnya yang berpusat
di Masjid Agung.
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung ini dulunya dikelilingi sungai. Bagian Ilir (timur)
berbatasan dengan sungai Tengkuruk. Darat (utara) berbaasan dengan
sungai Kapuran. Ulu (barat) berbatasan dengan sungai Sekanak. Dan laut
(selatan) berbatasan dengan keraton Tengkuruk yang sekarang menjadi
museum SMB II.
Mulanya tidak ada menara di masjid Agung. Saat masa pemerintahan Sultan
Najmudin I putra SMB I menara masjid baru dibangun. Namun pendirian
menara ini bukan tanpa rintangan. Pembangunan menara masjid bertepatan
dengan perang dingin antara Kerajaan Palembang melawan Belanda pada
tahun 1821. Akibatnya atap menara masjid hancur dan baru diganti jadi
atap rumbia pada 1825.
Berdasarkan laporan Mayor William Thorn (penguasa Inggris di Palembang)
pada 1811 menyebutkan bahwa denah masjid Agung berbentuk persegi panjang
berukuran 686x110 kaki. Pintu masuknya dari tiga jurusan yang ditandai
bangunan gapura bagian timur, selatan juga utara.
Menara masjid setinggi 60 kaki/20 m ini berdenah persegi enam. Menara
ini awalnya dibangun agak jauh dari masjid karena kondisi tanahnya
berupa rawa. Diputuskan demikian karena jika tidak begitu maka akan
mempengaruhi tekanan pada tanah yang tidak padat. Jika ada tekanan maka
kontur tanah berubah. Itu dapat menyebabkan tanah tempat berdirinya
masjid tidak kuat menahan bangunan masjid itu sendiri.
Ciri khas masjid Agung ini adalah Mustaka yang dimilikinya. Karena pada
umumnya masjid di pulau Sumatera berbentuk kubah. Masjid bermustaka
adalah masjid yang mempunyai atap bagian atas terpisah dari atap di
bawahnya. Atap bawahnya ini ditopang oleh pilar-pilar di atas tanah.
Jika dilihat seksama maka kepalanya seperti terpisah dari leher tubuh
masjid.
Seiring berjalannya waktu, masjid Agung telah banyak direnovasi sehingga
beberapa bentuknya tak lagi sama seperti yang dulu. Masjid ini juga
telah mengalami beberapa kali perluasan oleh banyak pihak. Termasuk oleh
pemerintah Belanda waktu zaman kolonial. Yayasan Masjid Agung dan
Pertamina pun turut andil. Untuk masalah perluasan dan renovasi ini
banyak simpang siur terkait kapan dilakukannya hal tersebut. Terakhir
masjid Agung Palembang diresmikan oleh Presiden saat itu Megawati
Soekarno Putri. Dan masjid ini didaulat menjadi salah satu masjid
Nasional.
Bangunan Lama Masjid Agung
Bangunan Lama Masjid Agung
Bangunan Lama Masjid Agung
Ciri khas masjid ini masih dipertahankan. Seperti atap menara yang
bergaya khas Cina dan undak-undak pada atap masjidnya yang melengkung ke
atas.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-palembang_552e08336ea834b7238b45b4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-palembang_552e08336ea834b7238b45b4
PILIHAN
Sejarah Masjid Agung Palembang
22 Desember 2013 16:20:46 Diperbarui: 24 Juni 2015 03:37:18 Dibaca :
2,637 Komentar : 6 Nilai : 8
Sejarah Masjid Agung Palembang
Masjid Agung tampak depan
Cikal bakal dan motivasi pembangunan masjid Agung Palembang bermula saat
masjid yang didirikan Ki Gedeh Ing Suro (Sultan Palembang) terbakar.
Kabarnya masjid ini dihancurkan oleh Mayor Van der Laen saat perang
Palembang melawan Belanda pada tahun 1659. Saat itu, lokasi masjid ini
berada di Keraton Kuto Gawang. Kalau sekarang berada di Kompleks PT.
Pusri.
Peletakan batu pertama pada pembangunan masjid Agung pada 1 Jumadil
Akhir 1151 H (1738 M). Sedangkan peresmian pemakaiannya pada hari Senin
tanggal 1 Jumadil Awal 1161 H atau bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1748
M. Masjid Agung didirikan di samping Keraton Tengkuruk yang dikenal
juga sebagai Kuto Kecik (sekarang gedung Museum Sultan Mahmud Badarudin
II) serta bergaya arsitektur Eropa.
Menurut penelitian sejarawan Djohan Hanafiah, awalnya masjid ini
berbentuk bujursangkar. Namun diketahui pula bahwa bentuk bangunan
masjid ini persegi panjang. Hal ini dapat diketahui dari sketsa lukisan
pada tahun 1821. Sedang pada buku yang saya baca, tidak diketahui siapa
pelukis sketsa ini.
Sultan Mahmud Badarudin I (SMB I) menentukan sendiri arsitektur
bangunannya. Rancangannya adalah berundak dengan limas di
puncaknya/mustaka. Mustaka adalah kepala dari atap undak masjid Agung.
Ia juga memiliki jurai kelompok simbar. Simbar itu seperti tanduk kepala
kambing sebanyak 13 buah di tiap sisinya.
Bentuk atapnya memiliki kesamaan dengan masjid di Hua Nan, Cina.
Arsitektur Cina pada masjid ini terasa kental pada bentuk mustaka yang
terjurai juga melengkung ke atas pada empat ujungnya. Hal ini disebabkan
karena orang-orang Cina ikut andil dalam pembuatan masjid Agung.
Sedangkan mimbar masjid Agung mirip sekali dengan mimbar Rasulullah di
masjid Madinah. Ini menunjukkan pengaruh arsitektur Arab. Jadi ada tiga
budaya dan bentuk arsitektur pada masjid Agung ini, yaitu Arab, Cina dan
tradisional. Hanya saya tidak tahu bagaimana campur tangan Eropa
sehingga membuat masjid ini juga terlihat gaya Eropanya.
Masjid Agung tampak depan
Peran orang Cina pada masa kesultanan cukup menentukan. Termasuklah
sebagai tenaga ahli administrasi, perdagangan, dan syahbandar (pegawai
yang mengepalai urusan pelabuhan). Menurut kitab Ying-Lang Sheng Lan
yang ditulis oleh Ma Huan pada dinasti Ming, diceritakan daerah
pelabuhan lama, Ku Kang/Kiu Kian (maksudnya kota Palembang). Mayoritas
penghuninya adalah orang-orang Cina yang berasal dari Kanton, Chang
Chou, dan Chuan Chou.
Benteng Kuto Besak yang didirikan pada 1780 juga terdapat andil
orang-orang Cina. Waktu pembangunannya memakan waktu selama 17 tahun
karena bahan bangunannya harus didatangkan dari luar Palembang bahkan
luar pulau Sumatera. Pada 1797 bangunan tersebut resmi digunakan.
Walaupun demikian arsitek Benteng tidak diketahui dengan pasti, tapi
diperkirakan dari orang Eropa.
Keterampilan mencetak bata orang-orang Cina di Palembang diwariskan
kepada keturunannya yang bermukim di perkampungan tua mereka. Tepatnya
berada di Sungai Ogan alias Sungai Buaya. Masyarakat Cina pada masa
kesultanan tinggal di rumah-rumah rakit di wilayah Seberang Ulu. Seperti
juga komunitas Arab, Eropa dan orang-orang yang dianggap bukan sebagai
warga kesultanan Palembang.
Bentuk Bangunan Lama Masjid Agung
Masjid Agung terletak di kel. 19 Ilir kec. Ilir Barat 1 Palembang.
Masjid Agung berada di persimpangan jalan Jend. Sudirman di sebelah
timur. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan jalan Guru-guru
(berjarak kurang lebih 60 m). Jalan Guru-guru sekarang sudah diganti
namanya menjadi jalan Faqih Usman.
Menurut Djohan Hanafiah, dulu jalan ini sampai dinamakan jalan Guru-guru
karena di sepanjang jalan ini bermukim guru-guru agama Islam. Mereka
mengajarkan mengaji Al-Quran, Fiqih dan ilmu agama lainnya yang berpusat
di Masjid Agung.
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung Tempo Doeloe
Masjid Agung ini dulunya dikelilingi sungai. Bagian Ilir (timur)
berbatasan dengan sungai Tengkuruk. Darat (utara) berbaasan dengan
sungai Kapuran. Ulu (barat) berbatasan dengan sungai Sekanak. Dan laut
(selatan) berbatasan dengan keraton Tengkuruk yang sekarang menjadi
museum SMB II.
Mulanya tidak ada menara di masjid Agung. Saat masa pemerintahan Sultan
Najmudin I putra SMB I menara masjid baru dibangun. Namun pendirian
menara ini bukan tanpa rintangan. Pembangunan menara masjid bertepatan
dengan perang dingin antara Kerajaan Palembang melawan Belanda pada
tahun 1821. Akibatnya atap menara masjid hancur dan baru diganti jadi
atap rumbia pada 1825.
Berdasarkan laporan Mayor William Thorn (penguasa Inggris di Palembang)
pada 1811 menyebutkan bahwa denah masjid Agung berbentuk persegi panjang
berukuran 686x110 kaki. Pintu masuknya dari tiga jurusan yang ditandai
bangunan gapura bagian timur, selatan juga utara.
Menara masjid setinggi 60 kaki/20 m ini berdenah persegi enam. Menara
ini awalnya dibangun agak jauh dari masjid karena kondisi tanahnya
berupa rawa. Diputuskan demikian karena jika tidak begitu maka akan
mempengaruhi tekanan pada tanah yang tidak padat. Jika ada tekanan maka
kontur tanah berubah. Itu dapat menyebabkan tanah tempat berdirinya
masjid tidak kuat menahan bangunan masjid itu sendiri.
Ciri khas masjid Agung ini adalah Mustaka yang dimilikinya. Karena pada
umumnya masjid di pulau Sumatera berbentuk kubah. Masjid bermustaka
adalah masjid yang mempunyai atap bagian atas terpisah dari atap di
bawahnya. Atap bawahnya ini ditopang oleh pilar-pilar di atas tanah.
Jika dilihat seksama maka kepalanya seperti terpisah dari leher tubuh
masjid.
Seiring berjalannya waktu, masjid Agung telah banyak direnovasi sehingga
beberapa bentuknya tak lagi sama seperti yang dulu. Masjid ini juga
telah mengalami beberapa kali perluasan oleh banyak pihak. Termasuk oleh
pemerintah Belanda waktu zaman kolonial. Yayasan Masjid Agung dan
Pertamina pun turut andil. Untuk masalah perluasan dan renovasi ini
banyak simpang siur terkait kapan dilakukannya hal tersebut. Terakhir
masjid Agung Palembang diresmikan oleh Presiden saat itu Megawati
Soekarno Putri. Dan masjid ini didaulat menjadi salah satu masjid
Nasional.
Bangunan Lama Masjid Agung
Bangunan Lama Masjid Agung
Bangunan Lama Masjid Agung
Ciri khas masjid ini masih dipertahankan. Seperti atap menara yang
bergaya khas Cina dan undak-undak pada atap masjidnya yang melengkung ke
atas.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-palembang_552e08336ea834b7238b45b4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ardhani-reswari/sejarah-masjid-agung-palembang_552e08336ea834b7238b45b4
0 komentar:
Posting Komentar